Opini dari Maluku Utara untuk Jakarta yang Lupa Diri
Di negeri ini, rakyat di timur masih berjibaku urus surat tanah, urus listrik masuk desa, cari kerja tak pasti - tapi di Jakarta, kekuasaan malah dibagi seperti warisan keluarga.
Wakil menteri merangkap komisaris. Adik ipar selebritas duduk di kursi pengawas BUMN. Rakyat di daerah, terutama dari wilayah 3T seperti kami di Maluku Utara, hanya bisa geleng kepala sambil tanya dalam hati: ini negara siapa pung pe milik?
Putusan Mahkamah Konstitusi soal larangan rangkap jabatan cuma jadi pajangan hukum. Padahal jelas itu demi cegah benturan kepentingan. Tapi Jakarta terlalu sibuk bagi-bagi kursi, lupa bahwa di luar sana, masih banyak anak negeri yang cakap, pintar, tapi sonde punya akses.
Kitorang di Maluku Utara hidup dalam realita:
·
Pemuda lulusan
universitas terbaik pulang kampung, tapi lowongan kerja nihil.
·
Perempuan pegiat
ekonomi lokal susah dapat modal usaha.
·
Petani dan nelayan di
Gane, Makian, hingga Loloda harus urus surat tanah bertahun-tahun baru jadi.
Sementara di pusat, jabatan jalan pintas asal ada koneksi.
BUMN itu milik rakyat, bukan milik artis, bukan milik keluarga elite. Kalau komisaris diisi orang hanya karena dekat kekuasaan, berarti demokrasi ekonomi sudah mati. Sonde perlu baku debat panjang — rakyat bisa rasa sendiri keadilan itu makin jauh.
Jabatan publik bukan panggung hiburan. Bukan tempat main peran demi nama besar.
Di Maluku Utara, kitorang masih percaya bahwa kekuasaan itu tanggung jawab, bukan ladang keuntungan.
Kami bersuara dari pinggiran. Bukan karena mau cari nama, tapi karena kami juga bagian dari republik ini. Dan republik ini bukan cuma milik orang yang dekat istana.
Rakyat harus kembali jadi pemilik negara.
Bukan hanya jadi penonton.