
PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk sebelumnya telah mengumumkan adanya pemeliharaan jaringan SKKL pada ruas Sorong–Kauditan akibat gangguan teknis berupa shunt fault (kerusakan pada kabel laut) yang terdeteksi pada kedalaman 610 hingga 620 meter, sekitar 90–103 kilometer dari Terminal Landing Station Saoka, Sorong.
Pemeliharaan dijadwalkan berlangsung sejak 10 hingga 17 Juli 2025 dan diperkirakan menyebabkan penurunan kualitas layanan pada tanggal 13, 15, hingga 17 Juli. Wilayah yang terdampak paling parah adalah Labuha, Pulau Obi, dan sekitarnya.
Namun hingga hari ketiga pemeliharaan, tidak ada pernyataan atau informasi publik dari Pemerintah Provinsi Maluku Utara mengenai langkah mitigasi, penyampaian keluhan warga, atau koordinasi darurat yang dilakukan dengan Telkom atau pihak pusat. Ketidakhadiran komunikasi resmi dari pemda ini kontras dengan keresahan yang dirasakan masyarakat, terutama di daerah kepulauan yang sangat bergantung pada jaringan internet untuk layanan perbankan, pendidikan, dan pemerintahan.
Memanfaatkan Celah Krisis, Bukan Menyuarakan Kepentingan Publik?

Alih-alih memberikan kejelasan publik atas gangguan yang terjadi, Pemerintah Provinsi justru memilih melakukan audiensi tertutup bersama Direktorat Bisnis dan Operasi PT Len Telekomunikasi Indonesia (LTI) di Jakarta, Jumat (11/7). Dalam pertemuan tersebut, pemerintah membahas persoalan lain, yakni tumpang tindih antara pembangunan Pelabuhan Darko Sofifi dan jalur kabel Palapa Ring Tengah segmen Sofifi–Tidore.
Direktur Operasi PT LTI, Dirgantara Putra, mengingatkan bahwa proyek pelabuhan di Sofifi berada tepat di atas koridor kabel laut, yang sangat berisiko mengganggu stabilitas jaringan tulang punggung digital di kawasan timur Indonesia. Sejak 2019, kabel tersebut telah mengalami 12 gangguan, sebagian besar akibat aktivitas manusia dan kondisi geografis ekstrem.
Namun pertemuan ini justru mengesankan bahwa pemda lebih fokus pada kepentingan proyek infrastruktur jangka panjang daripada merespons langsung keresahan publik yang terjadi saat ini.
Publik Bertanya: Di Mana Pemerintah Daerah Saat Jaringan Mati?
Sejumlah warga net mengungkapkan keluhan atas ketiadaan sinyal, terutama di Labuha dan Pulau Obi. Bisnis daring lumpuh, transaksi digital tertunda, dan proses administrasi publik terganggu. Namun tidak ada kejelasan dari otoritas lokal tentang kapan kondisi normal akan pulih atau bagaimana alur informasi disalurkan kepada masyarakat.
“Kami tahu dari media bahwa kabel laut sedang diperbaiki. Tapi dari pemprov? Tidak ada informasi atau sekadar imbauan,” ujar Deni, warga Obi, kepada wartawan.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: di mana kehadiran negara di tingkat daerah saat warga menghadapi krisis layanan vital seperti internet dan telekomunikasi?
Kritik Perlu Dijawab dengan Perbaikan Sistem Komunikasi Krisis
Dalam era digital, komunikasi publik bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan. Pemerintah daerah seharusnya menjadi jembatan informasi antara pusat dan masyarakat, terutama saat terjadi gangguan infrastruktur vital. Ketidakhadiran suara resmi dari Pemprov Malut memperlihatkan lemahnya tata kelola komunikasi krisis dan minimnya empati institusional terhadap keresahan warganya sendiri.
Pakar kebijakan publik menyarankan agar ke depan, pemda membentuk tim tanggap darurat informasi publik (Public Information Crisis Response Team), yang bertugas memberikan pembaruan berkala kepada masyarakat saat terjadi gangguan layanan dasar.
“Kritik ini bukan untuk menjatuhkan, tetapi mengingatkan bahwa kepercayaan publik dibangun dari kehadiran nyata pemerintah, baik fisik maupun secara informasi,” ungkap Dr. Arwin Lamo, akademisi kebijakan publik dari Ternate.
---
(Redaksi)