
Dugaan ini muncul setelah Rusdi melalui medianya menerbitkan berita klarifikasi yang terkesan membela pihak RSUD Obi, dan justru menyerang balik narasi investigatif yang diangkat oleh beberapa media lokal biro Halsel. Sebelumnya, sejumlah media mempublikasikan laporan kritis, di antaranya berjudul:
Diduga Ulah Suami Istri Pegawai di RSUD Obi Pelayanan Pasien Terganggu, Minta Bupati Halsel Evaluasi
Oknum Pegawai di RSUD Obi Diduga Tidak Berkantor, Urus Sapi Peliharaan, Absen Dikendalikan Sang Istri
Namun klarifikasi yang ditulis oleh Rusdi di medianya membawa judul kontras: Kepala Seksi Medik RSUD Obi Mengancam Keras Atas Tudingan yang Tidak Berdasar - sebuah pernyataan tegas yang justru memperlihatkan upaya membungkam kritik dan meredam isu.
Langkah Rusdi ini memicu reaksi keras dari kalangan jurnalis dan pengamat media. Tindakan Rusdi dinilai tidak hanya melanggar prinsip dasar jurnalistik, tetapi juga merampas hasil karya dan kerja investigasi media lain. Apalagi, klarifikasi yang ia tayangkan diduga tidak melalui proses konfirmasi ke media yang menerbitkan berita awal, melainkan hanya bersumber dari pihak yang merasa dirugikan.
“Ini bukan sekadar klarifikasi biasa. Ini indikasi bahwa ada transaksi di balik berita,” ujar salah satu jurnalis senior di Halsel yang enggan disebut namanya.
Lebih jauh, dugaan keterlibatan H. Sudarmo sebagai pihak penyuap, memperkuat kekhawatiran akan penyalahgunaan kekuasaan di internal RSUD Obi. Informasi dari berbagai sumber menyebutkan bahwa sejumlah pegawai medis yang aktif bekerja justru mengalami pemotongan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP), sementara salah satu pegawai berinisial H. Kahar diduga jarang berkantor, namun tetap mendapat absen penuh dan TPP utuh, berkat intervensi istrinya yang menjabat sebagai Kepala Seksi di RSUD Obi.
“Ini praktik tak sehat. Ada pegawai yang kerja sungguh-sungguh tapi haknya dipotong, sementara yang lalai justru difasilitasi. Ini bentuk ketidakadilan struktural,” jelas seorang tenaga medis yang meminta identitasnya disembunyikan.
Kejanggalan makin mencuat ketika media klarifikasi milik Rusdi dianggap melompati proses jurnalistik yang semestinya, yaitu memberi ruang hak jawab kepada media awal, bukan malah mempublikasikan bantahan sebagai berita tunggal tanpa proses penelusuran fakta lapangan. Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap media, tetapi juga menjadi preseden buruk terhadap praktik jurnalisme yang profesional dan independen.
Pihak-pihak dari kalangan sipil dan komunitas jurnalis pun mendesak Dewan Pers untuk segera turun tangan melakukan investigasi mendalam terhadap media yang bersangkutan, termasuk wartawan Rusdi, atas dugaan pelanggaran kode etik dan potensi gratifikasi.
“Jangan sampai jurnalisme dijadikan alat transaksional. Kalau terbukti, Dewan Pers wajib memberikan sanksi tegas,” kata Ketua Forum Wartawan Anti Korupsi Maluku Utara.
Diketahui pula bahwa media tersebut, dalam pemberitaannya menyebut bahwa klarifikasi dimuat tanpa pungutan biaya. Namun pernyataan itu tak mampu meredam dugaan publik akan adanya transaksi tersembunyi yang sarat kepentingan, apalagi jika dikaitkan dengan posisi Kepala Seksi yang tengah menjadi sorotan.
Dalam rilisan awal yang kini menjadi perdebatan, tiga poin krusial yang diangkat media lain adalah:
1. Sejumlah pegawai aktif di RSUD Obi mengalami pemotongan TPP tanpa alasan jelas.
2. H. Kahar, yang diduga jarang berkantor, tetap mendapat absen penuh berkat kendali dari sang istri.
3. Direktur RSUD Obi belum memberikan keterangan resmi meski telah dihubungi via telepon.
Upaya konfirmasi terhadap pihak-pihak terkait pun masih berlangsung. Hingga berita ini diturunkan, baik H. Kahar, istrinya, maupun Direktur RSUD Obi belum memberikan tanggapan atas berbagai tudingan dan laporan yang berkembang.
Skandal ini membuka kembali perdebatan lama tentang pentingnya menjaga integritas profesi jurnalistik, serta mendesak adanya pemisahan yang jelas antara kepentingan pribadi dan kerja-kerja jurnalistik yang seharusnya berpihak pada kebenaran, bukan pada bayaran.