Ketika Penegak Hukum Tak Lagi Dipercaya, Jurnalis Jadi Harapan Terakhir Untuk menyampaikan harapan publik bukan kepentingan pribadi.

 
Jakarta, Madodera.Com - Di tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, satu-satunya jalan yang tersisa untuk menyuarakan ketidakadilan adalah melalui para jurnalis. Jurnalis sejati adalah penyambung lidah kaum tertindas. Maka, memusuhi jurnalis sama saja memutus harapan masyarakat untuk didengar dan dilindungi.

Namun perlu diingat, menjadi jurnalis bukan hanya soal menyuarakan kebenaran, tetapi juga soal kejujuran—bukan hanya kepada profesi, melainkan juga kepada diri sendiri. Seorang jurnalis harus berani bertanya: Apakah saya sedang menjalankan tugas secara legal? Apakah yang saya lakukan menyuarakan keadilan, atau justru menambah keruh suasana?

Kejujuran terhadap profesi menuntut kita tunduk pada kode etik jurnalistik. Sementara kejujuran terhadap diri sendiri menuntut kita introspeksi—apakah kita jurnalis karena panggilan nurani, atau sekadar kedok untuk kepentingan tertentu.

Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan bahwa tidak ada istilah “wartawan gadungan” jika seseorang bekerja pada media yang sah dan terverifikasi sesuai standar Dewan Pers. Wartawan yang bekerja di media legal, menjalankan kode etik, dan mematuhi aturan main pers, berhak disebut wartawan.

Namun hari ini, masyarakat sering dihadapkan pada figur-figur yang mengklaim diri sebagai wartawan, namun menggunakan nama media yang meniru institusi negara—seperti KPK, BIN, atau POLRI. Ini adalah pelanggaran serius. Nama lembaga negara tidak boleh digunakan untuk kepentingan komersial atau penyamaran. Apalagi jika digunakan untuk menakut-nakuti narasumber demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Contohnya, ada oknum yang mengaku dari “media KPK”, mendatangi sekolah dan menanyakan dana BOS. Kepala sekolah panik karena mengira didatangi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, itu hanya orang yang memakai nama “KPK” dalam label medianya. Tindakan seperti ini bukan saja menipu publik, tetapi juga mencoreng profesi jurnalis.

Maka penting bagi masyarakat untuk mengenali media resmi—yang memiliki badan hukum pers, terdaftar di Dewan Pers, serta mematuhi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Media yang sah juga memiliki struktur redaksi, alamat kantor yang jelas, dan wartawan yang dibekali kartu identitas resmi serta mengikuti pelatihan jurnalistik.

Jika keadilan tidak lagi bisa diperoleh melalui jalur hukum, maka kekuatan pers yang jujur, legal, dan berintegritas menjadi benteng terakhir bagi suara rakyat. Tapi ingat, hanya jurnalis yang jujur terhadap profesi dan dirinya sendirilah yang layak menyandang peran mulia itu.


Red/*

Post a Comment

Previous Post Next Post